Akulturasi merupakan proses yang kompleks di mana dua kebudayaan atau lebih bertemu dan berinteraksi, menghasilkan suatu bentuk kebudayaan baru yang mencerminkan perpaduan unik dari kedua budaya tersebut.
Ini tidak hanya melibatkan penerimaan unsur-unsur budaya asing, tetapi juga transformasi dan penyesuaian ke dalam kebudayaan yang sudah ada.
Menurut Koentjaraningrat, akulturasi adalah fenomena sosial yang terjadi ketika suatu kelompok masyarakat dengan kebudayaan khasnya berinteraksi dengan budaya asing yang berbeda.
Proses ini terus berlangsung sampai budaya asing tersebut diterima dan diadaptasi oleh masyarakat, menjadi bagian dari kebudayaan mereka sendiri.
Leininger memperluas konsep akulturasi dengan menyoroti peran individu atau kelompok dalam mengadopsi nilai-nilai, perilaku, norma, dan gaya hidup dari budaya lain. Ini mencerminkan proses pembelajaran dan integrasi yang kompleks antara dua budaya.
Sementara menurut Robert Redfield dan rekan-rekannya, akulturasi dipandang sebagai salah satu dari banyak fenomena yang muncul ketika kelompok-kelompok individu dengan latar belakang budaya yang berbeda bertemu.
Pandangan Soerjono Soekanto menekankan bahwa akulturasi adalah proses sosial yang terjadi ketika kelompok masyarakat menghadapi unsur-unsur budaya asing. Namun, yang penting, proses ini tidak menghilangkan identitas atau ciri khas dari kedua budaya yang terlibat.
Sebaliknya, itu menghasilkan suatu sintesis baru yang mempertahankan warisan budaya masing-masing sambil menciptakan sesuatu yang baru dan unik. Dengan demikian, akulturasi bukanlah sekadar asimilasi, tetapi lebih merupakan proses dinamis di mana budaya saling memengaruhi dan berkembang.
Pengertian Akulturasi Budaya
Akulturasi budaya merupakan fenomena sosial yang timbul ketika sebuah komunitas manusia berinteraksi dengan unsur-unsur dari kebudayaan asing.
Sebagaimana yang diungkapkan dalam buku “Prasangka Agama dan Etnik”, proses akulturasi budaya bukanlah sekadar penerimaan mentah atau penolakan, tetapi merupakan sebuah perjalanan dinamis menuju keselarasan di tengah heterogenitas masyarakat.
Menurut pandangan Koentjaraningrat, akulturasi budaya adalah proses yang melibatkan interaksi antara sekelompok individu dengan latar belakang budaya khas, yang kemudian bertemu dengan elemen-elemen budaya dari luar.
Proses ini tidak hanya sekadar asimilasi, melainkan lebih pada penggabungan yang berkelanjutan, di mana elemen-elemen baru tersebut disesuaikan dan diintegrasikan ke dalam budaya asli tanpa mengorbankan identitas kultural yang ada.
Proses Akulturasi Budaya
Menurut penjelasan yang diungkapkan dalam buku “Komunikasi Lintas Budaya,” akulturasi budaya dalam masyarakat merupakan suatu proses akulturasi berlangsung dalam jangka waktu yang bervariasi, tergantung pada berbagai faktor.
Proses ini dapat terjadi dalam tempo yang panjang apabila terjadi melalui mekanisme pemaksaan yang berpotensi menciptakan konflik sosial yang serius.
Di sisi lain, ketika proses akulturasi berlangsung secara damai, maka akan berlangsung dengan lebih cepat. Proses ini menghasilkan pengaruh yang berdasarkan pada kekuatan relatif dari masing-masing budaya yang terlibat.
Dalam konteks ini, kekuatan suatu budaya akan menjadi faktor penentu utama dalam menentukan seberapa cepat budaya tersebut memengaruhi budaya lainnya.
Salah satu contoh konkret dari proses akulturasi dapat diamati di daerah transmigrasi, di mana pertemuan antara berbagai suku bangsa terjadi sebagai akibat dari kebijakan transmigrasi.
Di dalam proses ini, perpaduan antara persamaan dan perbedaan antar suku bangsa menjadi sebuah dinamika yang krusial. Pada akhirnya, budaya yang memiliki kekuatan lebih besar akan memainkan peran yang signifikan dalam mengarahkan jalannya proses akulturasi tersebut.
Faktor Pendorong
Dalam karya ilmiah bertajuk “Komunikasi Lintas Budaya,” diuraikan bahwa proses ini, yang merupakan penyerapan unsur-unsur budaya dari satu kelompok ke kelompok lain, didorong oleh dua faktor utama, yakni faktor internal dan eksternal.
Faktor internal merujuk pada dinamika internal suatu kelompok dalam menerima dan mengadopsi elemen-elemen budaya baru, sementara faktor eksternal mencakup pengaruh dari luar kelompok yang mempengaruhi proses tersebut.
1. Faktor Internal
Ada beragam faktor internal yang mendorong terjadinya proses akulturasi di dalam sebuah masyarakat. Salah satunya adalah kemunculan penemuan-penemuan baru yang mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat, dari teknologi hingga budaya.
Misalnya, penemuan baru dalam bidang teknologi komunikasi dapat mengubah cara masyarakat berinteraksi dan berkomunikasi. Selain itu, inovasi juga memainkan peran penting dalam memunculkan atau menggantikan penemuan-penemuan yang ada.
Dalam ranah politik, peristiwa seperti pemberontakan atau revolusi di suatu negara dapat menjadi pendorong kuat bagi terjadinya akulturasi, karena mengubah struktur dan dinamika kekuasaan serta nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Dengan demikian, pemahaman yang mendalam tentang faktor-faktor internal ini memberikan wawasan yang lebih kaya tentang kompleksitas prosesnya dalam sebuah masyarakat.
2. Faktor Eksternal
Proses akulturasi, yang merupakan penyerapan budaya dari luar, dipicu oleh faktor-faktor eksternal yang berakar di luar lingkungan sosial yang bersangkutan. Dinamika ini tidak hanya memengaruhi struktur dan norma masyarakat, tetapi juga secara signifikan mengubah keseimbangan budaya yang ada.
Misalnya, ketika sebuah negara terlibat dalam konflik bersenjata, interaksi dengan budaya asing dapat meningkat secara dramatis, memunculkan perubahan yang kompleks dalam identitas budaya dan struktur sosial.
Jenis-Jenis
Menurut Koentjaraningrat (1996), akulturasi dapat mengambil beberapa bentuk yang beragam, mencerminkan kompleksitas interaksi antarbudaya:
- Substitusi: Merupakan transformasi di mana unsur budaya yang ada digantikan oleh unsur budaya baru, yang sering kali memperkaya pengalaman budaya penggunanya.
- Sinkretisme: Proses pembentukan sistem baru yang terjadi ketika elemen-elemen budaya yang berbeda digabungkan, sering terjadi dalam konteks keagamaan, menciptakan suatu sintesis baru yang unik.
- Penambahan: Terjadi ketika unsur-unsur budaya baru digabungkan dengan yang sudah ada, meningkatkan kekayaan budaya yang ada dengan tambahan nilai baru.
- Penggantian: Suatu proses di mana unsur-unsur budaya yang lama digantikan oleh yang baru, seperti pergeseran dari delman ke transportasi umum dalam konteks transportasi perkotaan.
- Originasi: Merupakan masuknya unsur-unsur budaya baru yang secara signifikan mengubah kehidupan masyarakat, seperti pengenalan listrik di pedesaan yang terpencil, mengubah cara hidup mereka secara substansial.
- Penolakan: Reaksi masyarakat terhadap budaya baru yang dianggap membawa dampak negatif atau dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada, menolak untuk memasukkan unsur-unsur tersebut dalam kehidupan mereka.
Contoh Akulturasi di Indonesia
Di ranah kuliner, Palembang menjadi tempat yang kaya dengan contoh akulturasi budaya. Salah satu ilustrasinya dapat ditemukan dalam kuliner lokal yang menggabungkan unsur-unsur dari berbagai budaya.
Misalnya, perpaduan antara cita rasa Arab dan Melayu Palembang yang termanifestasikan dalam hidangan nasi mandhi dan nasi minyak, seperti yang diungkapkan dalam Tinjauan Historis Akulturasi Budaya Dalam Kuliner Palembang Sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah.
Perkembangan ini tidak terlepas dari sejarah perdagangan yang kaya pada masa kerajaan Sriwijaya, di mana pelabuhan Palembang menjadi pusat interaksi budaya yang sibuk. Pelbagai bangsa dari berbagai penjuru datang dan berinteraksi di kota ini, membawa serta warisan budaya mereka.
Kisah ini terus berlanjut pada masa Kesultanan Palembang Darussalam, ketika bangsa Cina, Arab, serta kelompok-kelompok lainnya, termasuk Belanda dan Jepang, turut berkontribusi dalam proses akulturasi ini. Keberadaan mereka membentuk lanskap budaya yang semakin kaya dan kompleks di Palembang.
Selain di bidang kuliner, akulturasi budaya juga tercermin dalam arsitektur. Sebagai contoh, menara Masjid Kudus di Jawa Tengah memiliki kesamaan bentuk dan struktur dengan Balai Kulkul di Pura Taman Ayun, Bali, sebagaimana dijelaskan dalam Sejarah Indonesia Periode Islam.
Kedua bangunan itu, meskipun berasal dari konteks budaya yang berbeda, memiliki fungsi serupa dalam memberikan informasi dan tanda kepada masyarakat mengenai kegiatan suci atau lainnya, menggambarkan betapa kaya dan kompleksnya proses akulturasi budaya di Indonesia.
Baca juga artikel menarik lainnya di SemutAspal:
Dapatkan berita terbaru! Ikuti kami di Google News dan dapatkan kabar terupdate langsung di genggaman.